26/08/09

PELUANG JADI KAYA

PELUANG JADI KAYA LEWAT BISNIS MLM: MLM menawarkan peluang besar bagi yang ingin memperoleh penghasilan tambahan atau bagi mereka yang baru meniti karier dalam dunia bisnis, dibelahan dunia bisnis dengan system MLM sudah menjelma menjadi suatu industri yang sangat besar, sementara diIndonesia MLM merupakan peluang bisnis yang tebilang baru. Bagaimana menjalankan usahanya?, apa saja yang bisa dijual dan seberapa banyak yang akan Anda peroleh..?. OXYCJDW merupakan salah satu usaha yang bergerak dengan system MLM murni, terdaftar sebagai anggota APLI dan juga sudah mendapat sertifikat Halal dari MUI, jadi usaha ini legal dan dapat dipertanggung jawabkan. Disamping Produknya pun bersumber dari mata air yang jernih menyehatkan, yang telah diaktifkan dengan menggunakan Sinar Alpha melalui proses Mulecular Resonance e-Magnetic Tecnology ( MReT ). Air minum yang mengandung Oxygen murni yang tinggi, serta air minum yang memiliki kandungan Mineral An-Organik yang rendah, hal tersebut adalah kelebihan Oxy dibandingkan dengan air minum biasa lainnya. Banyak Kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang telah sembuh dari berbagai macam penyakit, dari yang ringan maupun yang berat. Di samping mendapatkan kesehatan dari produk yang kita pakai, Kita juga dapat menjalankan bisnis ini dan banyak pula kesaksian dari orang -orang yang telah berhasil ( mendapatkan penghasilan yang sangat besar ) , mempunyai penghasilan jutaan, puluhan juta bahkan hingga ratusan juta rupiah/ bulan dalam bisnis ini. Anda ingin seperti mereka mendapatkan kesehatan serta penghasilan jutaan...? Marilah luangkan waktu Anda sedikit....untuk melihat dan mempelejari Usaha ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk Kita semua. OXYCJDW merupakan salah satu peluang usaha yang tidak melihat latar belakang Anda, pendidikan Anda dengan hanya modal relatif kecil. Jadi siapapun Anda apapun latar belakang pendidikan Anda semua dapat sehat serta sukses di usaha ini....... APABILA ANDA BERMINAT MENGETAHUAI LEBIH JAUH CARA MENJALANKAN USAHA INI, SILAHKAN KLIK DISINI.!

22/08/09

orang Betawi menjadi ulama besar

Dulu, bagi orang Betawi yang memiliki keinginan agar anaknya menjadi ulama besar, Makkah adalah tujuannya. Selain bisa ngaji kepada ulama yang terkemuka di sana, si anak juga dapat melaksanakan haji saban tahun karena Ka`bah di depan mata.

Sepulangnya ke tanah air, si anak selain berilmu juga sudah bergelar haji, suatu gelar terhormat di masyarakat Betawi, dan melengkapi pengakuan atas status sosialnya sebagai ulama dengan gelar Kyai Haji.

Untuk mewujudkan keinginan ini, apapun dikorbankan dan dilakoni orang tua, semisal menjual tanah, harta benda lainnya atau meminjam uang kepada rentenir. sengihnampakgigi

Karena orang Betawi berpaham Ahlussunnah Wal Jama`ah dan setelah paham Wahabisme menghegemoni ke seluruh institusi pendidikan Islam di Saudi Arabia, bisa dikatakan sekarang ini sangat sedikit orang Betawi yang mengirim anaknya untuk ngaji ke sana, khususnya di Makkah. Terlebih setelah ulama Ahlussunnah wal Jama`ah terkemuka di Saudi Arabia, Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki wafat pada tahun 1995 lalu. Orang Betawi lebih memilih Mesir, Yaman atau Suriah sebagai tempat ngaji anak-anaknya untuk menjadi ulama besar, baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non-formalnya. Salah satu alasanya, karena kedekatannya dengan kota Makkah sehingga mudah untuk beribadah haji. Pengalaman anak Betawi yang pergi ngaji “sambil” haji ini direkam dengan baik oleh ulama Betawi dari pengalaman pribadi mereka. Salah satunya adalah KH. Noer Alie, sosok ulama-pejuang dan pahlawan nasional kita.

Waktu itu, tahun 1930-an, anak Betawi yang pergi ke kota Makkah untuk ngaji umumnya disesuaikan dengan musim haji karena kapal laut yang berangkat ke Jeddah, yaitu salah satunya kapal laut Telisce, memang diutamakan mengangkut jamaah haji, selain para pelajar dan barang-barang. Selain itu, mereka yang ke Makkah untuk ngaji atau belajar bisa mendapatkan potongan harga tiket sampai separuhnya. Dengan membayar f 92,5 (harga untuk pelajar yang sudah dipotong lima puluh persen, sedangkan jama`ah haji harus bayar seratus persen atau f 185), anak Betawi dapat berangkat ke tanah suci dengan dilepas sanak keluarga di Pelabuhan Tanjung Priok. Perjalanan laut ke Jeddah membutuhkan waktu selama dua minggu lebih, menyinggahi beberapa pelabuhan di beberapa negara, seperti Singapura, Kalkuta (India) , sampai Djibouti di Afrika Timur untuk mengisi bahan bakar. Di kapal laut ini jangan berharap mendapatkan kenyamanan seperti naik pesawat terbang karena ukuran kapasitas muatan kapal ditentukan atas timbangan berat, bukan jumlah penumpang. Jadi bisa dibayangkan kesumpekan yang dialami para penumpang, terlebih tidak ada kamar-kamar khusus yang disediakan untuk penumpang dan ventilasi serta sanitasi yang tidak nyaman.

Sering terjadi saat memasuki laut merah dan sudah dekat dengan pelabuhan Jeddah Telisce berhenti di tengah laut dan tidak dapat merapat karena perairan pelabuhan masih sangat dangkal. Untuk sampai ke pantai, para penumpang dijemput perahu-perahu tongkang yang masing-masing memuat sekitar 10 orang ditambah barang-barang penting seperlunya. Sedangkan barang-barang yang berat diangkut dengan tongkang lain. Di pelabuhan Jeddah, jamaah yang berasal dari Batavia disambut oleh Syeikh Al Betawi, yang mengurus jamaah haji atau pelajar Betawi yang akan bermukim di Makkah. Setelah diterima syeikh, semalaman jemaah diasramakan di tempat yang telah disediakan. Keesokan harinya, jemaah bertolak dari Jeddah ke Makkah dengan menggunakan Onta yang membutuhkan waktu dua hari satu malam melintasi wilayah gersang berpasir dengan suhu yang begitu panas dan sampai di Makkah setelah Maghrib. Bandingkan dengan sekarang yang hanya beberapa jam saja. Di Makkah, jamaah tinggal di penampungan Syaikh Al Betawi yang dipisahkan tempat tinggalnya antara jamaah haji dan pelajar. Pada hari pertama di Makkah, jamaah pada umumnya melakukan thawaf di Baitullah. Walaupun mereka sudah berada di Makkah, mereka belum bisa melakukan ibadah haji karena keberangkatan mereka dari Indonesia pada bulan Rajab sehingga masih beberapa bulan lagi untuk masuk bulan haji (Dzulhijjah). Untuk mengisi waktu, jama`ah haji memperbanyak ibadah sunnah, selain ibadah wajib, terutama di bulan Ramadhan dan juga umroh berkali-kali. Sedangkan yang berstatus sebagai pelajar, mereka mulai belajar atau mengaji.

Di Makkah pada waktu itu, terdapat dua model pendidikan yang dibedakan berdasarkan jenjang dan tempat belajar mengajar, yaitu pendidikan formal dan non-formal. Umumnya, anak Betawi menempuh pendidikan non-formal yang tempat belajarnya tidak di ruang kelas tetapi di Masjidil Haram atau di rumah salah seorang guru mereka yang dipanggil syeikh. Di Masjidil Haram, terdapat sejumlah tempat khusus mengaji yang dipimpin oleh seorang syeikh dengan kepakarannya masing-masing dalam bidang ilmu ke-Islaman. Tempat khusus tersebut di kavling-kavling yang merupakan kesapakatan antara syeikh. Kavling tersebut tidak dibatasi oleh tembok atau pembatas lainnya, hanya diperkirakan saja. Bagi orang yang pertama kali datang, tentu terasa sulit untuk menentukan batas kavling. Syeikh-syeikh yang terkemuka pada waktu itu antara lain Syeikh Ali Al-Maliki (pengarang kitab Qurratul 'Ain yang masih dijadikan rujukan bagi kalangan nahdiyin sampai sekarang), Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad Fatoni, Syeikh Ibnul Arabi, Syeikh Muhammad Amin Al-Quthbi, Syeikh Achyadi, Syeikh Abdul Zalil dan Syeikh Umar at-Turki. Saat waktu haji, para pelajar tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk melakukan ibadah haji dan kembali lagi mengaji setelah ibadah haji selesai dilaksanakan.

Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun sampai dipandang cukup untuk kembali ke tanah air untuk mengabdi di tengah-tengah umat sebagai kyai haji. Sekarang, tempat-tempat ngaji tersebut tidak ada lagi di Masjidil Haram karena terbentur larangan dari pemerintah. Para syeikh Ahlussunnah Wal Jama`ah yang tersisa dan masih meneruskan tradisi mengajar tersebut di Makkah, mengalihkan tempat pengajiannya di rumah masing-masing. Biasanya setiap musim haji, mereka masih didatangi oleh para pelajar dari Indonesia untuk mengaji walau hanya beberapa hari atau minggu saja, khususnya dari Betawi, yang umumnya tidak lagi berusia muda dan di tanah air sebagian bahkan berstatus sebagai ustadz atau ulama.doa

* * *

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Staf Seksi Pengkajian JIC

15/08/09

Kisah Para Pecinta Rasulullah

Puncak Kesempurnaan Iman

“Wahai Umar, demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, engkau belum beriman sepenuhnya sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

Angin kota Madinah yang menyebarkan hawa dingin tetapi kering dan garang terasa menusuk hingga ke tulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin meninggi. Sementara dengan segala perang perasaan, malakul maut mulai mencabut nyawa Nabi SAW dari kepala.

Nabi SAW merasakan sakit tatkala nyawa beliau sampai ke pusat. Dahi dan sekujur wajahnya yang mulia bersimbah peluh. Urat-uratnya menegang dari detik ke detik. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling kepada Malaikat Jibril. Matanya basah, cahayanya makin meredup. Kepada Jibril beliau berkata, “Ya Jibril, betapa sakit. Alangkah dahsyat derita sakaratul maut ini....”

Jibril cepat membuang mukanya. Hatinya bergolak melihat peristiwa itu. “Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apa engkau benci melihat mukaku?” tanya Nabi SAW dengan cemas. “Tidak, ya Rasulullah,” sahut petugas pembawa wahyu tersebut.

Dipegangnya tangan Nabi yang mulia itu, lalu ia berkata, “Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam keadaan semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau dalam kesakitan?”

Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur badan Nabi SAW menggigil. Wajahnya memutih dan urat-uratnya tambah menegang. Dalam penanggungannya yang amat sangat, Nabi SAW berkata, “Ya Rabbi, alangkah sakitnya. Ya Tuhanku, timpakanlah kesakitan sakaratul maut ini hanya kepadaku, dan jangan kepada umatku.”

Jibril tersentak. Begitu agungnya pribadi sang Terpilih. Dalam detik-detiknya yang paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan dirinya yang diminta. Melainkan kepentingan umatnya yang didahulukan. Andai kata Nabi Muhammad SAW menuntut agar kesakitan itu dicabut, pastilah Allah SWT akan mengabulkan permintaannya. Namun beliau lebih memilih permohonan agar derita itu tidak menimpa umatnya. Makhluk mana yang memiliki ketinggian budi seperti Baginda Nabi SAW?

Masih jelas dalam benak kita kisah tentang malaikat penjaga gunung yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk menghancurkan penduduk Thaif. Akan dibelah bumi, diguncangkan gempa, supaya mereka terbenam semua, sebagai balasan bagi tindak aniaya mereka kepada Nabi SAW. Namun, dengan kesabaran yang luar biasa, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan sekeras itu, wahai malaikat Allah. Siapa tahu, jika mereka belum mau beriman, anak-anaknya akan beriman? Dan jika anak-anaknya belum mau juga, kuharapkan cucu-cucu mereka akan menerima Islam sebagai agamanya.”

Sementara itu Malaikat Maut telah merenggut nyawa Baginda SAW sampai ke dada. Napasnya sudah mulai sesak. Tiba-tiba Nabi SAW dengan suara menggigil dan pandangan meredup menengok ke arah sahabat-sahabatnya dan berkata, “Uushiikum bisshalaati wa ma malakat aimanukum (Aku wasiatkan kepada kalian shalat dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Peliharalah mereka baik-baik).”

Keadaan pun bertambah gawat. Semua sahabat yang hadir menundukkan kepala, saking tidak kuat menahan kesedihan. Badan Baginda SAW berubah menjadi dingin. Hampir seluruhnya tidak bergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya membuka sedikit. Mata itu menatap ke langit-langit.

Pada saat menjelang akhir napas beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW menggerakkan bibirnya yang sudah membiru dua kali. Cepat-cepat ia mendekatkan telinganya ke bibir Nabi SAW. Ia mendengar Nabi memanggil-manggil, “Umatku... umatku...”

Setelah memanggil-manggil inilah Nabi SAW wafat pada Senin bulan Rabi’ul Awwal. Maka meledaklah tangis berkabung ke segenap penjuru. Seorang juru selamat telah mangkat. Cintanya kepada umat dibawanya hingga akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke padang mahsyar.

Lantas, bagaimana dengan kita, umatnya, yang justru sangat dicintainya? Berkat perjuangan beliau yang tiada lelah, kita dapat mereguk nikmat iman dan Islam. Tegakah kita mengabaikan cintanya?

Pernah suatu ketika dalam suatu riwayat beliau bersabda, “Sungguh aku merindukan mereka.” Para sahabat terperanjat. Mereka cemburu, karena Rasulullah merindukan orang lain ketimbang mereka. “Siapa gerangan yang engkau rindukan, ya Rasulullah? Apakah kami?” tanya mereka penasaran. “Bukan. Kalian adalah sahabatku, kalian berjuang bersamaku. Tentunya aku mencintai kalian.” “Apakah para malaiakat Allah?” “Bukan...,” jawab Baginda. “Lalu siapa, ya Rasulullah?” “Mereka adalah umatku nanti. Mereka tidak pernah bertemu aku, tapi mereka mengikuti sunnah-sunnahku dengan penuh keimanan. Hati mereka dipenuhi kecintaan kepadaku.”

Siapakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Tiada lain adalah umatnya yang hidup berabad-abad setelah Rasulullah wafat. Di antaranya kita. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita mencintai beliau dengan benar? Kepada siapa kita belajar mencintai beliau?

Umar bin Khaththab Contoh terbaik adalah para sahabat Rasulullah SAW. Mereka hidup pada masa Rasulullah dan menjadikan sirah beliau sebagai rambu dan pelita yang menerangi jalan di depan mereka. Menyadari pentingnya meneladani beliau, mereka pun mengikutinya dalam segala masalah, besar ataupun kecil. Mereka menimba, menikmati, dan berlindung di bawah keteladanan beliau.

Kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW melebihi kecintaan mereka kepada harta, istri, anak-anak, bahkan diri mereka sendiri. Suatu hari, di pagi hari, Umar bin Khaththab bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah menyapa sahabatnya itu dengan sumringah, “Bagaiamana keadaanmu pagi ini, wahai sahabatku, Umar?” “Alhamdulillah, ya Rasulullah, pagi ini aku dalam keadaan beriman.”

Rasulullah SAW bertanya lagi, “Siapa yang engkau lebih cintai, anak-anakmu atau aku?” Umar menjawab, “Tentu saja anak-anakku, ya Rasulullah. Mereka adalah permata hatiku. Darah dagingku. Bagaimana aku tidak lebih mencintai mereka daripada dirimu?” “Kalau begitu, engkau belum beriman dengan sepenuh hatimu, wahai sahabatku.”

Keesokan harinya, Sayyidina Umar bertemu kembali dengan Baginda Nabi, dan beliau bertanya lagi, “Bagaimana pagi ini, wahai sahabatku?” “Pagi ini aku dalam keadaan beriman, ya Rasulullah.” “Lalu, mana yang lebih engkau cintai, dirimu sendiri atau aku?” tanya Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, sungguh, engkau lebih aku cintai daripada hartaku dan keluargaku, kecuali diriku.” “Wahai Umar, demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, engkau belum beriman sepenuhnya sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

Hingga, suatu hari, Umar tergopoh-gopoh menjelang Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah... saat ini aku mencintai dirimu lebih dari segala-gelanya. Aku mencitaimu melebihi kecintaanku kepada diriku sendiri,” kata Umar sambil menangis haru.

Rasulullah SAW pun memeluk sahabatnya yang tercinta itu sambil berkata, “Sekarang, wahai Umar, sekarang...,” kata Rasulullah, yang maksudnya, saat itu keimanan Sayyidina Umar telah mencapai kesempurnaan.

Abu Bakar Shiddiq Begitulah kecintaan sahabat kepada Raulullah SAW, yang mencerminkan kekukuhan iman dalam dada mereka. Seperti juga halnya Abu Bakar Shiddiq. Sahabat karib Rasulullah ini membuktikan rasa cintanya di saat-saat Rasulullah menghadapi masa-masa sulit. Yaitu ketika Rasulullah SAW menyiapkan diri untuk hijrah ke Yatsrib atau Madinah.

“Aku menemanimu, aku menemanimu, wahai Rasulullah!” kata Abu Bakar. Begitu pula di saat mereka sedang dikejar-kejar para pemuda Quraisy yang hendak membunuh mereka. Mereka bersembunyi di Gua ........ Di saat Rasulullah SAW sedang keletihan, Abu Bakar menyediakan pangkuannya untuk Rasulullah SAW berbaring. Saat itulah kakinya disengat ular berbisa. Karena kecintaannya yang sangat dalam, ia tidak berani mengeluh ataupun mengaduh, karena khawatir orang yang paling dikasihinya akan terbangun.

Ketika para pemuda Quraisy itu sampai di mulut gua, Abu Bakar kelihatan sangat ketakutan. Maka Nabi pun menenangkannya, karena saat itulah ma’iyatullah (pertolongan Allah) menyertai mereka. “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” – At-Tawbah (9): 40. Lalu Rasulullah SAW berkata, “Hai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu mengenai dua orang yang disertai Allah sebagai Yang ketiga?”

Itulah cinta sejati, perasaan yang benar, dan iman yang dalam, sehingga Abu Bakar selalu dikenal dengan ucapannya yang abadi, “Jika beliau yang mengatakannya, berarti benar.”

Ia membenarkan Rasulullah SAW dalam segala sesuatu dan setuju dengan beliau dalam segala hal. Ia keluarkan harta dalam kecintaannya kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW, sehingga memakai pakaian yang sangat sederhana.

Khadijah RA Begitu pula Ummul Mu’minin Khadijah RA, yang mulia, wanita agung yang sangat mencintai Rasulullah SAW. Beliaulah insan yang selalu membantu Rasulullah SAW, senantiasa memacu semangatnya untuk tetap berdakwah. Menyelimuti, mengasihi, dan mendukungnya, karena dorongan cinta yang mendalam kepada insan ini, insan yang terpercaya dan jujur.

Ia menuturkan perkataannya yang terkenal, “Bergembiralah, wahai anak pamanku! Teguh hatilah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya, aku sungguh berharap engkau menjadi nabi dari umat ini. Demi Allah, ia tak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturahim, berbicara benar, menyantuni orang lemah, menjamu tamu, dan menolong untuk hal-hal yang benar.”

Rasulullah SAW pun sangat setia kepadanya. Lihatlah bagaimana beliau membela Khadijah RA ketika Ummul Mu’minin Aisyah, yang cemburu karena beliau sering menyebut Khadijah RA, berkata kepada beliau, “Ia tak lebih hanya seorang wanita tua. Allah telah menggantikan untukmu yang lebih baik daripadanya.”

Berkatalah Rasulullah SAW karena setianya kepada wanita terhormat ini, serta karena mengagungkan dan memuliakannya, “Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku yang lebih baik daripadanya. Ia beriman kepadaku ketika masyarakat tak satu pun yang percaya kepadaku. Ia membenarkanku ketika orang-orang mendustaiku. Ia membantuku ketika orang-orang membiarkanku.” Khadijah RA sangat mencintai beliau, sehingga Allah pun mencintainya dan memuliakannya.

Abu Thalhah Diriwayatkan, Anas bin Malik RA berkata, “Ketika terjadi Perang Uhud, orang-orang tercerai-berai dari Nabi SAW sedangkan Abu Thalhah tetap berada di hadapan beliau. Ia melindungi beliau dengan tamengnya.”

Abu Thalhah adalah seorang pemanah yang sangat mahir. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW mengintai pasukan musuh, maka berkata Abu Thalhah, “Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai. Aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar diriku melindungimu.”

Wanita Anshar Ada pula seorang wanita Anshar yang ayahnya, saudara laki-laki, serta suaminya gugur, saat Perang Uhud bersama Rasulullah SAW. Ketika orang-orang memberitahukan kematian mereka kepada wanita tersebut, ternyata keselamatan Rasulullah-lah yang lebih menyita pikirannya ketimbang segala yang lain. Sedikit pun ia tidak berpikir tentang musibah yang menimpanya dengan kehilangan anggota keluarganya. Karena itu, ia berteriak, “Di mana Rasulullah?”

Mereka menjelaskan kepadanya, “Alhamdulillah, beliau dalam keadaan baik sebagaimana yang kau inginkan.” Seketika itu wanita tersebut merasa tenang, meskipun musibah yang menimpanya sangat besar. Ia lalu berkata, “Perlihatkanlah beliau kepadaku agar aku dapat melihatnya.”

Saat ia telah melihat beliau, ia pun mengucapkan kalimatnya yang terkenal bak cahaya, bersinar sepanjang sejarah, menjadi saksai keimanan wanita Anshar ini, “Segala musibah setelahmu adalah kecil, wahai Rasulullah!”

Alangkah luar biasanya gambaran keimanan wanita Anshar ini, yang telah memberikan pelajaran yang sangat mendalam mengenai kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Mush’ab bin Umar Begitu pula Mush’ab bin Umar, pemuda kota Makkah yang dimanjakan keluarganya, yang gugur syahid pada Perang Uhud ketika ia melindungi Rasulullah SAW dan membelanya dari serangan orang-orang kafir.

Dikisahkan, Mush’ab bin Umair bertempur membela Nabi SAW sampai wafat terbunuh. Orang yang membunuh adalah Bin Qum’ah Al-Laitsi yang menyangka bahwa ia adalah Rasulullah SAW. Maka Bin Qum’ah Al-Laitsi kembali kepada kaum Quraisy seraya berkata, “Aku telah membunuh Muhammad.”

Selanjutnya, setelah Mush’ab bin Umair terbunuh, Rasulullah SAW memberikan bendera (panji-panji perang) kepada Ali bin Abu Thalib. Di masa hidupnya, cinta Mush’ah bin Umair kepada Rasulullah SAW telah memenuhi seluruh rongga dadanya.

Suatu ketika Mush’ab keluar menjumpai beberapa saudaranya seagama yang sedang duduk mengelilingi Rasulullah SAW. Ketika para sahabat melihatnya, mereka pun menundukkan kepala, memejamkan mata, dan air mata menetes dari mata mereka. Mereka melihatnya mengenakan pakaian yang penuh tambalan dan usang, sedangkan sebelumnya ia selalu memakai pakaian yang baru dan cemerlang. Karena ibunya, setelah putus asa untuk membuatnya murtad, mencegahnya dari semua kesenangan yang pernah ia limpahkan kepada Mush’ab setelah ia meninggalkan tuhannya.

Saat itu Nabi SAW melihatnya dengan pandangan kasih dan senyuman yang penuh kerelaan, seraya bersabda, “Aku telah melihat Mush’ah sebelum ini. Tak ada di kota Makkah seorang pemuda pun yang lebih meraih kesenangan dari kedua orangtuanya dibandingkan dia. Lalu ia tinggalkan semua itu karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengubahnya menjadi seperti yang kalian lihat, bahwa ia meninggalkan seluruh perhiasan dunia dan sangat bergantung pada akhirat dan kenikmatannya.” (HR At-Turmudzi dan Al-Hakim).

Zaid bin Ad-Datsanah Ada pula kisah Zaid bin Ad-Datsanah RA ketika kaum musyrikin menariknya keluar dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan, sebelum masuk Islam, berdiri memperhatikan salah seorang sahabat Rasulullah yang sedang digiring untuk dibunuh itu. Ia berkata, “Bersumpahlah demi Allah, wahai Zaid! Apakah engkau suka jika Muhammad berada di sini menggantikanmu untuk dipenggal lehernya, sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?”

Zaid, muslim yang kuat ini, menjawab, “Demi Allah, aku tidak suka jika Muhammad berada di sini, atau apabila ia terkena sepucuk duri saja yang menyakitinya, sedangkan aku duduk di tengah keluargaku. Demi Allah, akut tidak rela.”

Abu Sufyan terheran-heran dengan lelaki yang lebih memilih dibunuh daripada Rasulullah SAW terkena sepucuk duri yang menyakitinya itu. Ia lalu berkata, “Aku belum pernah melihat seorang manusia yang lebih dicintai para sahabatnya sebagaimana Muhammad dicintai sahabat-sahabatnya.”

Abdullah bin Umar Demikian juga setelah Rasulullah SAW wafat. Ketika Bilal RA datang dari negeri Syam ke kota Madinah setelah Nabi SAW wafat, orang-orang memintanya untuk mengumandangkan adzan bagi mereka sebagaimana yang dilakukannya ketika Rasulullah SAW masih hidup.

Penduduk kota Madinah, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, berkumpul untuk mendengarkan adzannya. Ketika Bilal mengucapkan Allahu Akbar, Allahu Akbar, semuanya berteriak dan menangis. Sewaktu ia mengucapkan Asyhadu anllailahaillallah, mereka mulai gaduh. Saat ia melafadzkan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, tidak ada seorang pun di Madinah yang tak menangis dan tak berteriak. Para gadis keluar dari kamar-kamar mereka dengan menangis.

Hari itu menjadi seperti hari wafatnya Rasulullah SAW. Semuanya karena mereka teringat dengan masa Nabi SAW yang cemerlang dan bercahaya. Demikian pula dengan Abdullah bin Umar. Ketika nama Rasulullah SAW disebut, ia selalu meneteskan air mata. Dan tidaklah ia melewati rumah Rasulullah SAW melainkan ia pejamkan kedua matanya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab az-Zuhud dengan sanad shahih, saking cintanya kepada Rasulullah SAW, ia selalu mengikuti atsar-atsar (kebiasaan) Rasulullah SAW.

Di setiap masjid, di mana Nabi pernah melakukan shalat di situ, ia pun shalat di situ. Saat berhaji, ketika wuquf di Arafah, ia selalu wuquf di tempat Rasulullah wuquf. Bahkan ia juga selalu memeriksa untanya di setiap jalan yang dilihatnya Rasulullah SAW pernah memeriksa untanya di situ.

Ikrimah bin Abu Jahl Begitu pula Ikrimah bin Abu Jahl RA, yang selalu setuju dengan Rasulullah SAW dan senantiasa teguh hatinya. Ia gugur pada Perang Yarmuk. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ia meletakkan kepalanya di atas paha Khalid bin Al-Walid, seraya berkata dengan air mata yang mengalir dari kedua matanya, “Wahai paman, apakah kematian ini membuat Rasulullah ridha kepadaku?” Pada saat kritis seperti itu pun ia teringat Rasulullah SAW, dan keinginannya hanyalah agar Rasulullah SAW ridha kepadanya.

Imam Malik Demikian pula Imam Malik RA, imam negeri hijrah (Madinah). Dalam biografinya disebutkan, Imam Malik tidak pernah berkendaraan di kota Madinah walaupun telah lemah dan telah tua usianya. Ia mengatakan, “Aku tak mau menaiki kendaraan di kota di mana jasad Rasulullah SAW dikebumikan.” Ini karena penghormatan dan kecintaannya yang begitu besar kepada Rasulullah SAW.

Di antara penghormatan dan pengagungannya yang luar biasa terhadap Nabi adalah sebagaimana yang disebutkan dalam biografinya juga. Jika ingin menyampaikan hadits Rasulullah SAW, ia berwudhu, kemudian duduk di atas tilamnya. Dirapikannya jenggotnya, lalu ia duduk dengan penuh penghormatan dan penuh wibawa, kemudian barulah ia menyampaikan hadits. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW.”

Imam Al-Bukhari Begitu pula Imam Al-Bukhari RA, yang sangat mencintai dan menghormati Rasulullah SAW. Jika ingin menulis hadits, pertama ia memulainya dengan bersuci dan melakukan shalat dua rakaat. Lalu saat menulis hadits, ia melakukannya dengan penuh penghargaan, penghormatan, dan pengagungan kepada Rasulullah SAW dan hadits-haditsnya.

Jejak Ulama Betawi

: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim

Sistem halaqah atau majelis ta’lim merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di tanah Betawi.

Dalam rentang 482 tahun usia ibu kota Jakarta, gempita dakwah tetap terjaga. Fundamen kukuh yang dibangun para ulama dan habaib sejak kota ini bernama Sunda Kalapa lalu menjadi Jayakarta, Batavia, dan akhirnya Jakarta, telah tertancap kuat di tengah masyarakat Betawi.

Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dan gaya hidup masyarakat Betawi, tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.

Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.

Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.

Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.

Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.

Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.

Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.

Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.

Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.

Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.

Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim. Peran Halaqah Menurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.

Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.

Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.

Enam “Pendekar” Betawi Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.

Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.

Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.

Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.

Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.

Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).

Silsilah Intelektual Dalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.

Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.

Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.

Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.

Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.

Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.

Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.

Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.

Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.

Tiga Institusi Pendidikan Agama Salah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)

Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.

Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.

Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.

Tiga Kelebihan Keberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.

Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.

Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).

Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).

Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.

Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.

Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.

Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.

Sudut Spiritualitas dan Intelektualitas Kini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.

Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.

Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.

Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.

Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.

Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).

Pemberdayaan Umat Nama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.

Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.

Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.

Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai. Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta.

© 2009 Majalah Alkisah

12/07/09

Syabaabul Akhyar

Nama Team Nasyd Sholawat Hadroh Majelis Ta'lim Al Abror yang telah di berikan nama Syabaabul Akhyar oleh guru Kami yaitu Al Habib Jadid bin Abdurrahman Assyegaf, mudah-mudahan Allah SWT selalu memanjangkan umur Beliau,mengabulkan segala hajat Beliau, memberkahi umur Beliau dalam Ta'at ibadah serta meridhoi segala usahanya dalam menegakkan kalimah Allah SWT ,yang berdomisili di jalan Nimun Raya Kampung Prigi Tanah Kusir Kebayoran Lama Selatan Jakarta Selatan. Terdiri dari anak-anak muda yang mempunyai kemauan yang sangat tinggi dalam menegakkan Syiar Islam melalui lantunan Sholawat yang sangat merdu serta di iringi dengan tepukan Rebana Hadroh yang mendayu-dayu mengajak para jama'ah ikut terlena dalam keasyikan menikmati sampai pada kepuncak kenikmatan dalam memuja dan memuji Allah SWT serta orang yang begitu sangat santun dalam tutur kata, yaitu Sayyidina Wa Habibina Wa Syafi'ina Wa Maulana Muhammad SAW. Dan Insya Allah dari kemauan dan Istiqomah dalam Syiar Islam dengan kecintaan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW. Keberkahan selalu menyertai para Team Nasyd Sholawat....amin Ya Robbal 'Alamin.

21/06/09

Ponsel Quran M 870 Dual GSM

Fitur Aplikasi Keislaman
Al Qur'an digital Lengkap 114 teks Arab Menggunakan huruf Othmanic resitasi Suara dari Syeikh Abdul Rahman, Al Sudais , dan Saikh Saud Ash-ShuraimTeks Terjemahan dalam 28 bahasa Pilihan Surat dan ayat ditampilkan Waktu Shalat dengan suara azan Arah kiblat dari kota besar di dunia tafsir dan hadist Panduan haji dan umrah Fitur mobile phone
  • Dual GSM 900 DCS 1800
  • dua kartu SIM dua siaga
  • Layar sentuh 2,2 inch TFT LCD 262K warna
  • Kamera 1,3 Mega Pixel dan perekam Video
  • Menu Bahasa Indonesia
  • SMS, MMS, GPRS dan Internet
  • Memory eksternal T-Flash 1 gb
  • MP3 dan MP4
  • radio FM
  • Bluetooth
GARANSI 1 TAHUN DICARI AGEN SELURUH INDONESIA Ijin DEPAG no. P.IV/1/TL.02.1/313/2008 Ijin DitJen POSTEL No.08166/POSTEL/2008 Ijin Dinas PERINDAG No.0329/1.824.51/09.03 Anda berminat..? Hub: MAHYUDDIN Telp. (021) 92192782

OXY Drinking Water

OXY Drinking Water Adalah air minum yang telah diaktifkan dengan menggunakan Sinar Alpha melalui proses Molecular Resonance e-Magnetic Technology (MReT), air minum yang mengandung Oksigen murni tinggi, serta air minum yang memiliki kandungan mineral An-Organik yang rendah. Manfaat Oksigen : * Meningkatkan daya ingat dan kecerdasan otak. * Menegah kanker, asthma dan berbagai penyakit. * Meningkatkan metabolisme. * Mengurangi racun dalam darah. * Menstabilkan tekanan darah. * Memperkuat jantung dan sistem kekebalan tubuh. * Mencegah stress dan gugup. * Mempercantik kulit dan mencegah penuaan dini. Disamping kwalitas produck yang bagus, bermanfaat serta terjangkau itu, Kami juga menawarkan kepada Anda BISNIS untuk mendapatkan penghasilan yang menakjubkan dengan mudah, serta sangat ringan cara menjalankannya. Selanjutnya BISNIS ini menjadi milik Anda pribadi, yang bisa Anda kembangkan tak terbatas...untuk keterangan lebih lanjut HUB: MAHYUDDIN Telp: (021) 92192782